Mengingat
wawancara konseling pada saat konselor dan konseli saling berhadapan muka
sangat berarti bagi keberhasilan atau kegagalan proses konseling, pelaksanaan
dan pengaturan dari wawncara konseling menjadi hal yang sangat penting. Dalam
hal ini konselor memikul tanggung jawab yang utama.
Dalam
buku W.S Winkle yang berjudul Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan
mengusulkan pembagian atas lima fase, yaitu pembukaan, penjelasan masalah,
penggalian latar belakang maslaah, penyelesaian masalah dan penutup. Uraian
yang lebih rinci tentang lima fase itu adalah sebagai berikut.
1. Pembukaan.
Diletakkan
dasar bagi pengembangan hubungan antara pribadi (working relationship) yang baik, yang memungkinkan pembicaraan
terbuka dan terarah dalam wawancara konseling.
Sikap
konselor :
a. Bila
bertemu dengan konseli untuk pertama kali: meyambut kedatangan konseli dengan
sikap ramah, misalnya berjabatan tangan, mempersilahkan duduk, dan menyisihkan
berkas – berkas yang ada di atas mejja kerjanya. Kemudia konselor mengajak
bicara basa – basi sebentar supaya koneli dapat menyesuaikan diri dengan
keadaan di ruangan konseling, membiasakan diri dengan nada suara konselor, dan
menenagkan diri; bahan untuk berbasa – basi dapat diambil dari kejadian –
kejadian di sekolah atau di masyarakat. Setelah itu, kalau dianggap perlu,
konselor menjelaskan beberapa hal yang menyangkut wawancara konseling sebagai pertemuan
profesional, misal lamanya bicara dalam suatu pertemuan, apa yang boleh
diharapkan dari seorang konselor, dan apa yang diharapkan dari konseli. Kalau
konseli tidak datang atas inisiatifnya sendiri, tetapi dipanggil oleh konselor
atau disuruh oleh orang lain untuk menghadapai konselor, perlu dijelaskan
kepada konseli apa alasannya dia dipanggil atau disuruh oleh orang lain, dan
bertanya kepada konseli apakah da bersedia berbicara dengan konselor tentang
hal itu. Kalau bersedia, wawancara dapat dilanjutkan. Kalau konseli tidak
bersedia, konselor mencoba untuk , meyakinkan konseli akan manfaat suatu
pembicaraan; kalau konseli belum bersedia, wawancara terpaksa ditangguhkan di
lain kesempatan bila konseli sudah siap. Lalu konselor mempersilahkan konseli untuk
mengemukakan hal yang ingin dibicarakannya, misalnya dengan berdiam diri sampai
konseli mulai mengutarakan sendiri, atau dengan memberikan umpan seperti: “
Kiranya ada sesuatu yang ingin Anda bicarakan?”; “Saudara ingin mulai dari
mana?”; “Bagaimana saya dapat membantu Anda?”, dan sebagainya.
b. Bila
bertemu dengan konseli untuk melanjutkan pembicaraan terdahulu. Menyambut
kedatangan konseli dengan sikap ramah, misalnya dengan mengatakan: “Bagaimana
keadaanmu hari ini?” Setelah itu konselor mengajak konseli untuk melanjutkan
proses konseling, misalnya dengan mengatakan: “Apakah saudara masih ingin
menambahkan sesuatu pada pembicaraan kita terdahulu?”; “Apakah Anda sempat
berpikir tentang apa yang kita bicarakan minggu yang lalu?”; “Minggu yang lalu
kita berbicara tentang ... kita lanjutkan di mana?”, dan sebagainya.
2. Penjelasan
masalah
Konseli
mengemukakan hal yang ingin dibicarakan dengan konselor, sambil mengutarakan
sejumlah pikiran dan perasaan yang berkaitan dengan hal itu. Inisiatif berada
di pihak konseli dan dia bebas berkaitan dengan hal itu, inisiatif berada di
pihak konseli dan dia bebas mengutarakan apa yang dianggap perlu dikemukakan.
Konselor menerima uraian konseli sebagaimana adanya dan memantulkan pikiran
serta perasaan yang terungkap melaalui penggunaan teknik konseling seperti
Refleksi dan Klarifikasi. Sambil mendengarkan konselor berusaha menentukan
jenis masalah yang akan diambilnya dalam kedua fase berikutnya, yaitu fase 3
dan 4. Biarpun konseli biasanya belum mengutarakan persoalannya secara lengkap,
konselor yang berpengalaman mendapat cukup banyak petunjuk untuk dapat
menentukan jenis masalahnya dan pendekatan konseling manakah yang paling
sesuai.
3. Penggalian
latar belakang masalah.
Oleh
karena konseli pada fase 2 belum menyajikan gambaran lengkap mengenai kedudukan
masalah, diperlukan penjelasan lebih mendetail dan mendalam. Dalam hal ini
inisiatif agak bergesr ke pihak konselor, yang lebih mengetahui apa yang
dibutuhkan supaya konseli dan konselor memperoleh gambaran yang bulat. Fase ini
juga dapat disebut dengan analisis kasus, yang dilakukan menurut sistematika
tertentu sesuai dengan pendekatan konseling yang telah diambil.
4. Penyelesaian
masalah
Berdasarkan
apa yang telah digali dalam fsase analisis kasus, konselor dan konseli membahas
bagaimana persoalan dapat diatasi. Mempertimbangkan peranan konselor di
institusi pendidikan dalam mencari sisteamtika suatu penyelesaian yang khas
bagi masing – masing pendekatan yang disebut dalam butir 5. Dengan kata lain,
kalau konselor mengambil menerapkan pendekatan Rational –emotive selama fase analisis kasus, sisa harus menerapkan
langkah – langkah yang diikuti oleh pendekatan itu dalam menemukan suatu
penyelesaian. Kalau konselor telah mengambil pendekatan konseling untuk membuat
pilihan dalam fase analisis kasus, dia akan menerapkan langkah – langkah
penyelesaian maslahnyang sesuai dengan pendekatan itu; dan seterusnya. Pada
umumnya konselor akan berusaha suapaya konseli, disamping perubahan sikap dan
pandangan, juga merencanakan tindakan konkret untuk dilaksanakan susudah proses
konseling selesai. Kalau tidak demikian, timbul bahaya bahwa hasil proses
konseling tinggal kata – kata atau pemikiran saja, tanpa wujud pelaksanaan
dalam tindkan nyata.
5. Penutup.
Bilamana
konseli telah merasa mantap tentang penyelesaian masalah yang ditemukan bersama
dengan konselor, proses konseling dapat diakhiri. Penutup ini seabiknya
mengambil bentuk yang agak formal sehingga konselor dan konseli menyadari bahwa
hubungan antarpribadi, sebagaimana berlangsung selama wawancara atau wawancara
– wawancara konseling, telah selesai. Oleh karena itu, konselor biasanya
mengambil inisiatif dalam memulai fase penutup ini. Sikap konselor :
a. Bila
pada akhir satu kali wawancara atau pada akhir wawancara terakhir; sesudah
berwawancara lebih dari satu kali, proses konseling telah selesai: memberikan
sendiri ringkasan tentang jalannya proses konseling dan menegaskan kembali
keputusan yang tealh daimbil, atau mempersilahkan konseli untuk meringkas
jalannya prose konseling.kemusdian, konselor mengangkat hati konseli dengan
memberikan semangat keapdanya, supaya bertekad mealaksanakan keputusannya.
Konselor menawarkan untuk bertemu kembali pada lain kesempatan, bila konseli
menghadapi persoalan lain. Akhirnya, konselor berpisah dengan konseli, sesuai
dengan tata kesopanan yang berlaku dalam masyarakat.
b. Bila
proses konseling sesudah berwawancara satu kali atau beberapa kali belum
selesai: konselor memberikan ringkasan tentang apa yang dibicarkan samapai
sekarang. Kemudian, ditetapkan bersama apa yang akan dilakukan oleh konseli
selama jangka waktu sebelum bertemu kembali dengan konselor. Akhirnya,
ditentukan pada waktu kapan mereka akan meneruskan pembicaraan.
Proses
konseling mungkin selesai dalam satu kali wawancara atau mungkin juga
dibutuhkan beberapa kali berwawancara, maka pembicaraan dengan konselor dapat
ditangguhkan untuk dilanjutkan pada lain wkatu sesudah fase ketiga atau di
tengah – tengah fase keempat.
B. Persiapan
Konseling dan Penyusunan Laporan Konseling
Sebelum
konselor bertemu dengan konseli untuk berwawancara, dia sebaiknya mempersiapkan
diri kalau hal itu dimungkinkan. Sesudah berwawancara dengan konseli, konselor
harus membuat suatu laporan singkat, entah proses konseling sudah selesai,
entah belum. Persiapan konseling dan penyusunan laporan konseling (kartu
wawancara konseling) terjadi di luar proses konseling yang sebenarnya dan berjalan di luar waktu konselor berwawancara
dengan konseli. Oleh karena itu, kedua hal ini dibahas tersendiri.
Bilamana
konselor di institusi pendidikan telah membuat janji untuk bertemu pada hari
dan waktu tertentu, dia mengetahui siapa yang akan menghadap. Untuk
memoersiapkan diri knselor dapat melihat kartu pribadi siswa bersangkutan, atau
melihat kartu wwancara yang memuat laporan tentang wawancara dengan siswa dan
mahasiswa bersangkutan beberapa waktu sebelumnya. Prsiapan inimembantu dalam
memperoleh gambaran umum tentang siswa yang akan mneghadap, atau membantu daln
erencanakan pembicaraan lanjutan dengan siswa dan mahasiswa tertentu.
Catatan mengenai wawancara yang daiadakan
dengan msing – masing konseli sangat bermanfaat bagi konselor, karena dia tidak
dapat mengingat secara mendetail isi semua wawancara yang pernah diadakan
dengan sekian banyak konseli, dan kare dia memebutuhkan data untuk menyusun
laporan – laporan konseling pada instansi – instansi yang berwenang. Laporan
konseling mengenai masing – masing wawancara yang terselenggaraka n disusun
menurut sistematika tertentu dengan berpegang pada format tertentu pula.
Bilamana laporan konseling dimuat pada lembar – lembar yang terpisah (untuk
setiap wawancara tersedia lembara tersendiri), bentuk kertas yang digunakan
ialah lembaran stensilan atau lembar kartu yang dicetak. Bilamana semua laporan
ditulis dalam suatu catatan menurut urutan kronologis (tanggal berlangsungnya
wawancara), bentuk kertas yang digunakan ialah lembar – lembar tulis yang
disusun menjadi halaman – halaman dalam buku catatan. Dalam buku ini laporan
tentang masing – masing wawancara demi mudahnya disebut kartu wawancara, meskipun
istilah itu sebenarnya hanya merujuk pada bahan baku tertentu untuk ditulisi.
Laporan tentang sejumlah wawancara, yang bersifat rangkuman, disebut laporan
berkala.
Format
Kartu Wawancara konseling memuat butir – butir sebagai berikut.
1. *Nomor
urut. Hanya diperlukan bila semua laporan ditulis dalam satu buku catatan.
2. *Tanggal.
Tanggal wawancara berlangsung.
3. Nama.
Nama konseli bersangkutan. Hanya diperlukan bial semua laporan ditulis dalam
satu buku. Bilamana digunakan lembar tersendiri ntuk masing – masing konseli,
ruang untuk menulis nama konseli dapat disediakan di bagian atas.
4. *Jenis
Kelamin. Pria atau wanita.
5. *Kelas.
Konseli duduk di tingkatan kelas yang mana, mengikuti program studi yang mana,
dan duduk di satuan kelas yang sama.
6. *Klasifikasi
masalah. a) Ragam bimbingan; b) Faktor penyemabb utama. Dapat digunakan kode –
kode tertentu.
7. Inti
masalah dan hasil wawancara. Dirumuskan secara singkat inti masalah yang
dibucarakan dan ketentuan yang diambil. Yang terakhir dapat ditaruh dia antara
tanda ( ). Kolom ini harus cukup lebar, supaya
tulisannya tidak menjadi terlalu panjang ke bawah. Dapat digunakan singkatan –
singkatan yang jelas bagi konselor.
8. Pendekatan.
Dicatat pendekatan konseling manakah yang telah dipilih oleh konselor. Dapat
digunakan kode – kode tertentu.
9. Keterangan.
Dicatat hal-hal yang relevan, misalnya “dipanggil”; ‘datang sendiri”; “datang
atas saran wali kelas”; ‘wawancara akan dilanjutkan’; dan lain sebagainya.
10. *Lamanya.
Dicatat lamanya wawancara, selama beberapa menit.
11. Yang
ke? Dicatat untuk yang keberapa kalinya konseli datang untuk berwawancara.
(Keterangan; nomor-nomor yang
ditandai * menyajikan data yang dapat dimuat dalam laporan berkala)
sumber : W.S Winkle. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan.
bagus tulisan nya... sangat membntu
BalasHapus