Senin, 04 Juni 2012

PELAKSANAAN WAWANCARA KONSELING INDIVIDUAL Oleh : Riza Oktavianti (1210401081)



          Mengingat wawancara konseling pada saat konselor dan konseli saling berhadapan muka sangat berarti bagi keberhasilan atau kegagalan proses konseling, pelaksanaan dan pengaturan dari wawncara konseling menjadi hal yang sangat penting. Dalam hal ini konselor memikul tanggung jawab yang utama.

A.    Fase – fase dalam proses Konseling di Sekolah
Dalam buku W.S Winkle yang berjudul Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan mengusulkan pembagian atas lima fase, yaitu pembukaan, penjelasan masalah, penggalian latar belakang maslaah, penyelesaian masalah dan penutup. Uraian yang lebih rinci tentang lima fase itu adalah sebagai berikut.
1.      Pembukaan.
Diletakkan dasar bagi pengembangan hubungan antara pribadi (working relationship) yang baik, yang memungkinkan pembicaraan terbuka dan terarah dalam wawancara konseling.
Sikap konselor :
a.       Bila bertemu dengan konseli untuk pertama kali: meyambut kedatangan konseli dengan sikap ramah, misalnya berjabatan tangan, mempersilahkan duduk, dan menyisihkan berkas – berkas yang ada di atas mejja kerjanya. Kemudia konselor mengajak bicara basa – basi sebentar supaya koneli dapat menyesuaikan diri dengan keadaan di ruangan konseling, membiasakan diri dengan nada suara konselor, dan menenagkan diri; bahan untuk berbasa – basi dapat diambil dari kejadian – kejadian di sekolah atau di masyarakat. Setelah itu, kalau dianggap perlu, konselor menjelaskan beberapa hal yang menyangkut wawancara konseling sebagai pertemuan profesional, misal lamanya bicara dalam suatu pertemuan, apa yang boleh diharapkan dari seorang konselor, dan apa yang diharapkan dari konseli. Kalau konseli tidak datang atas inisiatifnya sendiri, tetapi dipanggil oleh konselor atau disuruh oleh orang lain untuk menghadapai konselor, perlu dijelaskan kepada konseli apa alasannya dia dipanggil atau disuruh oleh orang lain, dan bertanya kepada konseli apakah da bersedia berbicara dengan konselor tentang hal itu. Kalau bersedia, wawancara dapat dilanjutkan. Kalau konseli tidak bersedia, konselor mencoba untuk , meyakinkan konseli akan manfaat suatu pembicaraan; kalau konseli belum bersedia, wawancara terpaksa ditangguhkan di lain kesempatan bila konseli sudah siap. Lalu konselor mempersilahkan konseli untuk mengemukakan hal yang ingin dibicarakannya, misalnya dengan berdiam diri sampai konseli mulai mengutarakan sendiri, atau dengan memberikan umpan seperti: “ Kiranya ada sesuatu yang ingin Anda bicarakan?”; “Saudara ingin mulai dari mana?”; “Bagaimana saya dapat membantu Anda?”, dan sebagainya.
b.      Bila bertemu dengan konseli untuk melanjutkan pembicaraan terdahulu. Menyambut kedatangan konseli dengan sikap ramah, misalnya dengan mengatakan: “Bagaimana keadaanmu hari ini?” Setelah itu konselor mengajak konseli untuk melanjutkan proses konseling, misalnya dengan mengatakan: “Apakah saudara masih ingin menambahkan sesuatu pada pembicaraan kita terdahulu?”; “Apakah Anda sempat berpikir tentang apa yang kita bicarakan minggu yang lalu?”; “Minggu yang lalu kita berbicara tentang ... kita lanjutkan di mana?”, dan sebagainya.
2.      Penjelasan masalah
Konseli mengemukakan hal yang ingin dibicarakan dengan konselor, sambil mengutarakan sejumlah pikiran dan perasaan yang berkaitan dengan hal itu. Inisiatif berada di pihak konseli dan dia bebas berkaitan dengan hal itu, inisiatif berada di pihak konseli dan dia bebas mengutarakan apa yang dianggap perlu dikemukakan. Konselor menerima uraian konseli sebagaimana adanya dan memantulkan pikiran serta perasaan yang terungkap melaalui penggunaan teknik konseling seperti Refleksi dan Klarifikasi. Sambil mendengarkan konselor berusaha menentukan jenis masalah yang akan diambilnya dalam kedua fase berikutnya, yaitu fase 3 dan 4. Biarpun konseli biasanya belum mengutarakan persoalannya secara lengkap, konselor yang berpengalaman mendapat cukup banyak petunjuk untuk dapat menentukan jenis masalahnya dan pendekatan konseling manakah yang paling sesuai.
3.      Penggalian latar belakang masalah.
Oleh karena konseli pada fase 2 belum menyajikan gambaran lengkap mengenai kedudukan masalah, diperlukan penjelasan lebih mendetail dan mendalam. Dalam hal ini inisiatif agak bergesr ke pihak konselor, yang lebih mengetahui apa yang dibutuhkan supaya konseli dan konselor memperoleh gambaran yang bulat. Fase ini juga dapat disebut dengan analisis kasus, yang dilakukan menurut sistematika tertentu sesuai dengan pendekatan konseling yang telah diambil.
4.      Penyelesaian masalah
Berdasarkan apa yang telah digali dalam fsase analisis kasus, konselor dan konseli membahas bagaimana persoalan dapat diatasi. Mempertimbangkan peranan konselor di institusi pendidikan dalam mencari sisteamtika suatu penyelesaian yang khas bagi masing – masing pendekatan yang disebut dalam butir 5. Dengan kata lain, kalau konselor mengambil menerapkan pendekatan Rational –emotive selama fase analisis kasus, sisa harus menerapkan langkah – langkah yang diikuti oleh pendekatan itu dalam menemukan suatu penyelesaian. Kalau konselor telah mengambil pendekatan konseling untuk membuat pilihan dalam fase analisis kasus, dia akan menerapkan langkah – langkah penyelesaian maslahnyang sesuai dengan pendekatan itu; dan seterusnya. Pada umumnya konselor akan berusaha suapaya konseli, disamping perubahan sikap dan pandangan, juga merencanakan tindakan konkret untuk dilaksanakan susudah proses konseling selesai. Kalau tidak demikian, timbul bahaya bahwa hasil proses konseling tinggal kata – kata atau pemikiran saja, tanpa wujud pelaksanaan dalam tindkan nyata.
5.      Penutup.
Bilamana konseli telah merasa mantap tentang penyelesaian masalah yang ditemukan bersama dengan konselor, proses konseling dapat diakhiri. Penutup ini seabiknya mengambil bentuk yang agak formal sehingga konselor dan konseli menyadari bahwa hubungan antarpribadi, sebagaimana berlangsung selama wawancara atau wawancara – wawancara konseling, telah selesai. Oleh karena itu, konselor biasanya mengambil inisiatif dalam memulai fase penutup ini. Sikap konselor :
a.       Bila pada akhir satu kali wawancara atau pada akhir wawancara terakhir; sesudah berwawancara lebih dari satu kali, proses konseling telah selesai: memberikan sendiri ringkasan tentang jalannya proses konseling dan menegaskan kembali keputusan yang tealh daimbil, atau mempersilahkan konseli untuk meringkas jalannya prose konseling.kemusdian, konselor mengangkat hati konseli dengan memberikan semangat keapdanya, supaya bertekad mealaksanakan keputusannya. Konselor menawarkan untuk bertemu kembali pada lain kesempatan, bila konseli menghadapi persoalan lain. Akhirnya, konselor berpisah dengan konseli, sesuai dengan tata kesopanan yang berlaku dalam masyarakat.
b.      Bila proses konseling sesudah berwawancara satu kali atau beberapa kali belum selesai: konselor memberikan ringkasan tentang apa yang dibicarkan samapai sekarang. Kemudian, ditetapkan bersama apa yang akan dilakukan oleh konseli selama jangka waktu sebelum bertemu kembali dengan konselor. Akhirnya, ditentukan pada waktu kapan mereka akan meneruskan pembicaraan.
Proses konseling mungkin selesai dalam satu kali wawancara atau mungkin juga dibutuhkan beberapa kali berwawancara, maka pembicaraan dengan konselor dapat ditangguhkan untuk dilanjutkan pada lain wkatu sesudah fase ketiga atau di tengah – tengah fase keempat.
B.     Persiapan Konseling dan Penyusunan Laporan Konseling
Sebelum konselor bertemu dengan konseli untuk berwawancara, dia sebaiknya mempersiapkan diri kalau hal itu dimungkinkan. Sesudah berwawancara dengan konseli, konselor harus membuat suatu laporan singkat, entah proses konseling sudah selesai, entah belum. Persiapan konseling dan penyusunan laporan konseling (kartu wawancara konseling) terjadi di luar proses konseling yang sebenarnya dan  berjalan di luar waktu konselor berwawancara dengan konseli. Oleh karena itu, kedua hal ini dibahas tersendiri.
Bilamana konselor di institusi pendidikan telah membuat janji untuk bertemu pada hari dan waktu tertentu, dia mengetahui siapa yang akan menghadap. Untuk memoersiapkan diri knselor dapat melihat kartu pribadi siswa bersangkutan, atau melihat kartu wwancara yang memuat laporan tentang wawancara dengan siswa dan mahasiswa bersangkutan beberapa waktu sebelumnya. Prsiapan inimembantu dalam memperoleh gambaran umum tentang siswa yang akan mneghadap, atau membantu daln erencanakan pembicaraan lanjutan dengan siswa dan mahasiswa tertentu.
 Catatan mengenai wawancara yang daiadakan dengan msing – masing konseli sangat bermanfaat bagi konselor, karena dia tidak dapat mengingat secara mendetail isi semua wawancara yang pernah diadakan dengan sekian banyak konseli, dan kare dia memebutuhkan data untuk menyusun laporan – laporan konseling pada instansi – instansi yang berwenang. Laporan konseling mengenai masing – masing wawancara yang terselenggaraka n disusun menurut sistematika tertentu dengan berpegang pada format tertentu pula. Bilamana laporan konseling dimuat pada lembar – lembar yang terpisah (untuk setiap wawancara tersedia lembara tersendiri), bentuk kertas yang digunakan ialah lembaran stensilan atau lembar kartu yang dicetak. Bilamana semua laporan ditulis dalam suatu catatan menurut urutan kronologis (tanggal berlangsungnya wawancara), bentuk kertas yang digunakan ialah lembar – lembar tulis yang disusun menjadi halaman – halaman dalam buku catatan. Dalam buku ini laporan tentang masing – masing wawancara demi mudahnya disebut kartu wawancara, meskipun istilah itu sebenarnya hanya merujuk pada bahan baku tertentu untuk ditulisi. Laporan tentang sejumlah wawancara, yang bersifat rangkuman, disebut laporan berkala.
Format Kartu Wawancara konseling memuat butir – butir sebagai berikut.
1.      *Nomor urut. Hanya diperlukan bila semua laporan ditulis dalam satu buku catatan.
2.      *Tanggal. Tanggal wawancara berlangsung.
3.      Nama. Nama konseli bersangkutan. Hanya diperlukan bial semua laporan ditulis dalam satu buku. Bilamana digunakan lembar tersendiri ntuk masing – masing konseli, ruang untuk menulis nama konseli dapat disediakan di bagian atas.
4.      *Jenis Kelamin. Pria atau wanita.
5.      *Kelas. Konseli duduk di tingkatan kelas yang mana, mengikuti program studi yang mana, dan duduk di satuan kelas yang sama.
6.      *Klasifikasi masalah. a) Ragam bimbingan; b) Faktor penyemabb utama. Dapat digunakan kode – kode tertentu.
7.      Inti masalah dan hasil wawancara. Dirumuskan secara singkat inti masalah yang dibucarakan dan ketentuan yang diambil. Yang terakhir dapat ditaruh dia antara tanda (         ). Kolom ini harus cukup lebar, supaya tulisannya tidak menjadi terlalu panjang ke bawah. Dapat digunakan singkatan – singkatan yang jelas bagi konselor.
8.      Pendekatan. Dicatat pendekatan konseling manakah yang telah dipilih oleh konselor. Dapat digunakan kode – kode tertentu.
9.      Keterangan. Dicatat hal-hal yang relevan, misalnya “dipanggil”; ‘datang sendiri”; “datang atas saran wali kelas”; ‘wawancara akan dilanjutkan’; dan lain sebagainya.
10.  *Lamanya. Dicatat lamanya wawancara, selama beberapa menit.
11.  Yang ke? Dicatat untuk yang keberapa kalinya konseli datang untuk berwawancara.

(Keterangan; nomor-nomor yang ditandai * menyajikan data yang dapat dimuat dalam laporan berkala)

sumber : W.S Winkle. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan.

1 komentar: